oleh Harjana
Kecerdasan Linguistik
Orang yang cerdas masih sering diidentikkan dengan orang yang memiliki IQ tinggi. Artinya, kecerdasan rasional masih menjadi tolok ukur sebuah kecerdasan. Masih banyak orang yang mengklasifikasikan anak berdasarkan IQ sebagai dasar dalam penempatan siswa. Misalnya, untuk dapat masuk dalam program akselesari pada sekolah tertentu seorang siswa harus memiliki tingkat IQ minimal 130. Secara eksplisit Binet Simon dalam Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 35) membuat klasifikasi anak: superior, gifted, genius, normal, debil, embisil, ediot. Semua itu didasarkan atas tingkat tinggi rendahnya kadar IQ
Berdasarkan klasifikasi tersebut, ternyata muncul beberapa pertanyaan. Mengapa banyak orang yang cerdas, yang memiliki IQ tinggi, tetapi juga cerdas mengorupsi uang negara? Mengapa banyak sarjana yang ber-IQ di atas rata-rata tidak mendapatkan pekerjaan? Hal inilah yang kemudian mendorong para ahli mengadakan penelitian tentang kecerdasan dan otak manusia. Taufiq Pasiak melalui Effendi (2005: 134) mengatakan bahwa masih banyak sisi ‘gelap’ dari otak manusia di luar IQ.
Kontroversi terjadi di kalangan para ahli sehingga melahirkan kritik terhadap toeri kecerdasan rasional sebagai satu-satunya kecerdasan. Menurut Gardner dalam Effendi (2005: 136) dalam diri manusi terdapat spektrum kecerdasan yang luas. Spektrum tersebut mencakup tujuh jenis kecerdasan: 1) kecerdasan verbal, 2) kecerdasan visual, 3) kecerdasan logis matematis, 4) kecerdasal musikal, 5) kecerdasan kinestetik, 6) kecerdasan intrapersonal, 7) kecerdasan interpersonal.
Kecerdasan verbal/kecerdasan linguistik merupakan kemampuan dalam menggunakan kata-kata secara terampil dan mengekspresikan konsep-konsep secara fasih. Kecerdasan ini ditunjukkan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata, serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa. Kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan bahasa ini adalah: percakapan spontan, dongeng, humor, kelakar, membujuk orang untuk mengikuti tindakan, memberi penjelasan atau mengajar.
Kecerdasan lingustik menurut Gardner dalam Effendi (2005: 141) ditunjukkan oleh sensitivitas terhadap fonologi, penguasaan sintaksis, pemahaman semantik dan pragmatik. Sedangkan menurut Noam Chomsky merupakan kecerdasan bawaan sejak lahir. Menurutnya anak-anak pasti dilahirkan dengan ‘pengetahuan bawaan’ tentang aturan-aturan dan bentuk-bentuk bahasa. Mereka harus memiliki kecerdasan itu sebagai bagian dari hak kelahiran mereka, dan sebagai hipotesis khusus tentang bagaimana membaca kode dan membicarakan bahasa mereka. Kennet Wexler dan Peter Culiver mempunyai klami lebih jauh bahwa anak-anak tidak akan mampu mempelajari bahasa sama sekali jika mereka tidak memiliki anggapan-anggapan awal tertentu yang dianggap dibangun dalam sistem saraf. Soekarno, Gunawan Mohammad, Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, dll adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan lingustik.
Kecerdasan lingustik hanya dimiliki oleh manusia. Dalam otak manusia terdapat simpul bahasa yang tidak dimiliki oleh binatang. Binatang tidak memiliki kecerdasan linguitik. Berbagai percobaan membuktikan bahwa binatang dalam melakukan komunikasinya hanya melakukan teori S-R (stimulus-respon atau rangsang tanggap). Bahasa pada binatang sangat terbatas walaupun diajarkan berbahasa bertahun-tahun. Komunikasi yang dilakukan oleh binatang bukan tindak berbahasa, tetapi hanya merupakan insting atau kebiasaan belaka. Bahasa hanya dimiliki manusia karena manusia yang dapat mengembangkan bahasa.
Karena otak manusia memang memiliki simpul bahasa, manusia mampu mengembangkan bahasanya secara tidak terbatas walaupun manusia hanya menerima stimulus yang sangat terbatas. Dengan kata lain, dengan rangsangan yang terbatas, manusia mampu mengembangkan dan menggunakan bahasanya secara tidak terbatas. Namun demikian, meski manusia memiliki kecerdasan linguistik, tetapi jika tidak belajar /mendapatkan pengalaman, tidak akan mampu berbahasa. Anak manusia yang sejak lahir berada dilingkungan binatang, tidak mampu melakukan komunikasi dengan bahasa manusia. Dengan demikian, agar manusia dapat berbahasa, harus ada kegiatan belajar berbahasa.
Pemerolehan dan Pembelajaran
Pada hakikatnya, penguasaan berbahasa anak terjadi karena pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan merupakan penguasaan bahasa target (bahasa yang ingin dikuasai/dipelajari) yang dilakukan secara tidak disadari dan bersifat informal. Pembelajaran merupakan penguasaan bahasa target yang dilakukan secra disadari dan bersifat formal.
Pemerolehan adalah penguasaan bahasa secara tidak disadari informal, atau alamiah. Penguasaan itu diperoleh dengan cara menggunakan bahasa itu dalam berkomunikasi. Pemerolehan berhubungan dengan penggunaan bahasa. Apabila pembelajar telah dapat menggunakan bahasanya (aktif maupun pasif), ia telah memiliki kompetensi komunikatif. Contoh pemerolehan dapat dilihat pada anak-anak yangmemperolah bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu. Misalnya, anak-anak Jawa belajar bahasa Jawa, anak-anak Inggris belajar bahasa Inggris, dll.
Pembelajaran merupakan usaha disadari untuk menguasai kaidah-kaidah kebahasaan. Belajar bahasa dilakukan secra formal dalam setting yang formal pula, seperti pembelajaran di kelas. Kegiiatan ini tidak terbatas pada ruang dan tempat tertentu. Kegiatan bisa dilaksanakan di mana saja asalkan diarahkan pada penguasaan kaidah kebahasaan secara disadari.
Hasil belajar berupa pengetahuan eksplisit yang berupa penguasaan kaidah-kaidah kebahasaa. Hasil tersebut digunakan pembelajar untuk melakukan seleksi atau mengedit ketika ia melakukan aktivitas komunikasi. Dengan kata lain, kaidah-kaidah kebahasaan yang dikuasai pembelajar tersebut digunakan untuk memonitor kketia ia menjadi partisipan komunikasi.
Kegiatan belajar yang menekankan pada penguasaan tata bahasa, penjelasan kaidah-kaidah kebahasaan, dan mengoreksi kesalahan-kesalahannya termasuk dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. Ada dua tipe pembelajaran bahasa jika dilihat dari settingnya: dilakukan di kelas (formal) dan dilakukan secara informal.
Aplikasi Pembelajaran Bahasa di Kelas
Pembelajaran kaidah kebahasaan dapat dilakukan secara induktif dan sera deduktif. Apabila pembelajar diberi eksplanasi tentang kaidah bahasa target dan sekiranga telah dianggap memiliki pengetahuan yang cukup, baru mereka diajak ke suasana praktik, inimerupakan pembelajaran deduktif. Sebaliknya apabila pembelajar lebih dahulu di bawa pada suasana praktik baru kemudia diarahkan untuk menemukan sendiri kaidah-kaidah bahasa target, merupakan pembelajaran secara induktif.
Pada pelaksanaan pembelajaran bahasa sesuai dengan kurikulum terbaru (KBK-KTSP), pembelajaran induktiflah yang ditekankan. Siswa tidak diajarkan teori-teori terlebih dahulu, tetapi teori-teori diperoleh setelah mereka praktik. Dengan demikian fokus pembelajaran bahasa bukan pada teori (kognitif) tetapi lebih pada keterampilan berbahasa.
Terkait dengan kecerdasan lingustik, harus disadari bahwa siswa tidak hanya meiliki kecerdasan rasional, tetapi juga memiliki kecerdasan bahasa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran di kelas, guru perlu memperhatikan pembelajatran bahasa. Dengan potensi yang dimiliki anak, sangat dimungkinkan siswa dikembangkan dari segi kecerdasan lingustik ini. Kecerdasan lingustik juga dapat berpengaruh terhadap kesuksesan anak. Kita dapat melihat pada kehidupan Taufik Ismail, W.S. Rendra, M.H. Ainun Najib dll. Mereka adalah tokoh-tokoh yang meiliki kecerdasan lingusitik yang tinggi dan ternyata dapat digunakan sebagai bekal kecakapan hidup. Sebaiknya para guru memberi stimulus kepada siswa untuk mengembangkan kemempuan berbahasa.
Pembelajaran bahasa sebaiknya tidak berhenti pada pemberian kaidah. Kaidah bukan sebuah tujuan dalam pembelajan bahasa, tetapi pengasaan keterampilan berbahasa yang menjadi tujuan utamanya. Penyampaian kaidah sebaiknya diberikan seiring dengan penguiasaan keterampilan berbahasa siswa.
Sehubungan dengan hal tersebut guru perlu menggunakan pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, kaidah bahasa bukan yang terpenting. Komunikasilah yang lebih diutamakan. Kesalahan berbahasa anak bukan hal fatal, tetapi harus dianggap sebagai hal yang wajar. Bagaimana siswa mampu mengkomunikasikan pikiran, perasaann kepada orang lain dan bagaiman ia dapat menangkap pikiran dan perasaan orang lain adalah tumpuan pendekatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar